Hidup Salam dan Bahagia
(Filosofi KHD)
Sebuah ruangan berukuran 7 m x 8 m menjadi saksi hari-hari kami yang dramatis. Sebagai guru kelas 1 acting menjadi salah satu kecakapan yang harus aku miliki. Bermuka ceria meski menyimpan duka. Menahan marah meski sangat ingin mengungkapkannya. Meskipun sesekali tak kuasa aku menahannya. Berteriak lantang hanya untuk mendapat perhatian mereka. Terkadang juga menahan geli melihat tingkah lucunya. Semakin aku banyak ceramah semakin nampak kebosanan mereka. Ngobrol dengan teman, memainkan alat tulis, menyelinap ke bawah meja dengan alasan mengambil pensil dan penghapus yang jatuh, izin ke kamar kecil hanya sekedar untuk cuci muka dan menghindari kebosanan. Sebagai guru aku juga tak habis akal, "tepuk lima," bak pasword yang otomatis mengembalikan perhatian mereka kepadaku. Aku masih semangat untuk melanjutkan ceramahku, meskipun aku tahu mereka sudah tak memperhatikanku. Aku harus menuntaskan materi hari ini, karena minggu depan sudah Penilaian Tengah Semester (PTS).
Yang terbersit dalam benak saya, sebagai guru saya harus mampu membimbing siswa meraih hasil belajar yang maksimal. Berbagai model, metode, dan media pembelajaran aku coba terapkan di kelas untuk meningkatkan hasil belajar. Berbagai bentuk latihan soal saya berikan agar anak-anak terlatih mengerjakan soal ujian. Alhasil tak ada satu siswa pun yang mendapat nilai di bawah Ketuntasan Belajar Minimum (KBM) yang sudah ditetapkan sekolah. Tentu saja saya merasa sangat puas dengan capaian siswa. Terlebih beberapa siswa ada yang mendapat nilai sempurna. Saya merasa sudah berhasil melaksanakan pembelajaran dengan indikator hasil belajar siswa di atas KBM. Tetapi jauh di lubuk hati saya ada sesuatu yang hampa. Saya merasa pembelajaran yang saya lakukan kurang bermakna, karena dalam prosesnya ada keterpaksaan, ketidakbahagiaan dan mungkin juga ketidakjujuran.
Guru Penggerak yang sedang saya ikuti saat ini, telah membuka cakrawala konsep pendidikan. Di awal program langsung berkenalan dengan bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara (KHD). Masyaalah, pemikiran beliau tentang pendidikan sungguh menginspirasi saya untuk merdeka dalam belajar. "Cita-cita lahir batin manusia. hidup salam dan bahagia: selamat lahirnya dan bahagia batinnya, dicapai dengan kecukupan lahirnya dan bebas merdeka jiwanya, bebas dari gangguan lahir batin & kekuatan." Saya membayangkan pembelajaran yang dilaksanakan dengan berorientasi pada keselamatan dan kebahagiaan akan menghadirkan insan-insan yang berjiwa damai dan merdeka. Merdeka belajar dengan caranya, merdeka memilih tantangannya, merdeka mengembangkan bakatnya, dan merdeka myampaikan perasaannya. Dengan memberikan kemerdekaan siswa akan tumbuh menjadi anak yang mandiri, kritis, dan kreatif.
"Lets move on!" Tekat saya setelah berkenalan dengan KHD sudah bulat. Saya harus segera merubah orientasi pembelajaran dari sekedar menuntaskan materi dan meningkatkan hasil belajar menjadi pembelajaran yang memerdekakan. Kodrat anak adalah bermain, maka saya akan mulai merancang pembelajaran dengan menggunakan konteks permainan. Mungkin ini bukan hal baru, bahkan saya pun juga sudah menerapkannya di beberapa materi. Sekarang akan menjadi wajib, memberikan permainan yang menstimulasi siswa kreatif dan bernalar kritis, serta sarat akan penguatan pendidikan karakter. Melalui permainan pembelajaran menjadi holistik dan seimbang antara olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga. Hal penting lainnya adalah mengurangi dominasi guru dalam pembelajaran dengan lebih banyak memfasilitasi siswa untuk melakukan simulasi, demonstrasi, dan mencari tahu bukan diberi tahu.
Saya ingin mengajak semua pendidik di negeri ini. Mari kita bertransformasi karena perubahan itu kekal, demikian pula pada dunia pendidikan harus terus berubah menyesuaikan kodrat alam dan kodrat zaman. Prinsip perubahan sudah diajarkan oleh KHD yaitu dengan TriKon. Konvergen, menyerap ilmu dari manapun dan mengolah secara Konsentris dengan "local wisdom" nusantara yang telah ada ratusan tahun sebelumnya. Dikelola secara Kontinyu atau berkesinambungan. Boleh-boleh saja kita menggunakan pemikiran bangsa lain sepanjang itu selaras dengan budaya bangsa kita. Yakinlah, dengan kembali pada kearifan lokal pendidikan akan menjadi kuat dan berkembang karena ditopang oleh akar budaya sendiri. Jadi tak sabar rasanya untuk berpetualang dengan para ilmuwan kecilku di sekolah. Salam dan bahagia!✋
Komentar
Posting Komentar